( sebuah diskursus logika dan hati)
ini bukanlah sebuah pembenaran. bukan pula pembelaan diri atas sebuah kesalahan. ini sebuah pengakuan, sebuah harapan, dan sebuah keresahan. secara sadar, seharusnya diungkapkan, dideskripsikan, dijewantahkan, seperti biasa. namun, tulisan akan jadi abadi, jadi sesuatu yang bisa dikenang selalu, yang dapat ditelusuri tiap sudutnya, kala tiap kata di pahami kembali. punya arti sendiri di memory jiwa. setelah ini dipahami, meski paradoks, setidak-tidak mampu memberi makna.
***
kita adalah pemilik pemahaman akan waktu yang menentukan jauh dekatnya jarak antara logika dan hati kita. seperti cahaya yang mendatangi benda, kemudian dikenali sebagai sesuatu oleh retina mata. persepsi dan asumsi, lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, sebuah diskursus yang tidak membutuhkan pernyataan biner. akan dimengerti apabila persepsi dan asumsi dapat menyelesaikan beberapa hal, memahami beberapa hal, atau mengalami beberapa hal, bersama. namun, ada saatnya tidak ada yang harus dimengerti, tidak ada yang harus dipahami, dan tidak ada yang harus disesali, kecuali hanya dirasakan, dibiarkan, dan diwujudkan.
***
cinta adalah persepsi. cinta adalah asumsi. diskursus logika dan hati menyediakan kawasan yang luas bagi cinta untuk dijelajahi dalam perjalanan waktu, melewati ragam, corak dan khas masing-masing ruang. menunggu, sendirian, dan kesetiaan, tidak merasa bodoh, tidak mengeluh dan tidak memaksa menjadi sempurna pada saat perasaan mulai gelisah, dan tetap menunggunya hingga waktu mengharuskan pulang. sampai hari ini, setiap orang merestruktur apa yang didestruktur, merekonstruksi apa yang telah didekonstruksi oleh cinta, berharap diskursus dapat akhiri oleh pemahaman yang dicapai logika dan hati.
***
sebelum aku tidur, logika dan hati ku menghadirkan sebuah persepsi. sebuah diskursus akan cinta, yang menuntun pada ruang dimana aku dipertemukan pada seseorang yang akan dengar setiap detak jantung ku, merasakan setiap takutku, mengobati setiap rasa sakitku, mendampingku di setiap damaiku, dan memberi arti bagi hidupku. di ruang yang sesak karena bukan hanya milikku, aku arungi waktu untuk menjaganya, menemani setiap langkahnya, menenangkan setiap cemasnya, menyembuhkan setiap perihnya, bersama disetiap bahagianya, dan ia akan selalu punya senyum yang indah.
namun, setiap kali aku mencintai seseorang dengan semua kemampuanku, setiap kali pula aku ingin mengingkarinya karena langkah-langkahku tidak pernah bisa meraih cinta yang ia miliki. akhirnya, diskursus logika dan hati ini dihadapkan pada kehilangan arah. lebih baik aku tidur, untuk menghindari perdebatan yang panjang.